*Paku Utama
Manusia Indonesia tidak sadar bahwa seluruh jalan hidupnya terperangkap dalam suatu jaringan mata rantai korupsi. Mulai dari bangun pagi hingga beranjak tidur di malam hari, dari berangkat kerja hingga pulang kerja, dari mulai menggantungkan cita-cita saat hari pertama masuk sekolah; kuliah; pendidikan hingga tiba saat kelulusan, dan dari lahir hingga diantar ke liang kubur, korupsi menguasai seluruh kehidupannya. Mengurus surat kelahiran, surat keterangan penduduk, surat izin mengemudi, jaminan kesehatan, mendaftarkan anak taman kanak-kanak, memasukkan anak ke sekolah dan ke perguruan tinggi, bahkan hingga mengurus surat keterangan miskin dari pejabat setempat, semua proses tersebut meMaha Esakan suap, sahabat karib korupsi.
Semakin tinggi kebudayaan serta peradaban bangsa Indonesia ini, semakin berkembang dan beragamnya praktik korupsi. Korupsi berkembang dari yang paling primitif hingga yang paling canggih, dari menggandakan setoran parkir, mencuri uang perusahaan, menaikkan dan memotong uang proyek, mengatrol harga, meminta komisi kontraktor, hingga memperjualbelikan serta mematok harga lisensi. Korupsi yang berkembang dan lebih canggih berbentuk pencucian uang, memproyekkan kekuatan (kelompok) politik dengan suatu perusahaan besar, dan menetapkan tarif untuk suatu peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
Korupsi tertanam secara mendalam di dalam lapisan masyarakat dan berbagai institusi. Hal tersebut tentunya terorganisir dengan baik. Korupsi telah menjadi endemik dalam birokrasi, dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam hubungan antara pemerintah dengan pengusaha atau perusahaan, dan bahkan dalam Perguruan Tinggi Negeri Terbaik Indonesia sekalipun. Tidak lepas pula bahwa korupsi merupakan masalah serius dalam jajaran kepolisian, Kantor Jaksa Agung, dalam sektor yudisial, partai-partai politik, para anggota parlemen, kelompok masyarakat sipil, dan media pun tidak kebal terhadap korupsi.
Korupsi sebagai sesuatu yang menyimpang, malah menjadi norma inti dalam ekonomi politik Indonesia. Beberapa pandangan mengatakan bahwa korupsi merupakan warisan budaya dari jaman kolonial belanda (VOC) yang mengakar dalam budaya bangsa Indonesia. Harus diingat bahwa korupsi yang hirarkis dan sistematis menjadi salah satu bentuk yang paling penting dari ekonomi politik Orde Baru. 32 tahun lamanya orde ini berkuasa, kerajaan manusia-manusia korupsi ini menancapkan kuku kekuasaan di semua lini. Korupsi menjadi denyut jantung ibu kota dan pusat pemerintahan, sehingga masyarakat pun ragu terhadap definisi korupsi; dibenarkan atau tidakkah korupsi itu? Melihat korupsi sebagai suatu warisan khazanah budaya Indonesia yang melembaga, bukan lagi sebagai penyakit!
Semenjak lengsernya Soeharto, korupsi yang terakuntabilitasi dan berjumlah besar mungkin telah menurun, tetapi pelaksanaan desentralisasi menjadi tren baru para manusia korupsi secara menyebar. Korupsi tidak lagi dilakukan secara hirarkis, terpusat, dan terorganisir, melainkan korupsi sekarang menjadi semakin merata penyebarannya; Sabang sampai Merauke. Desentralisasi membuka kesempatan baru bagi para elit tingkat daerah yang dahulunya mungkin kesulitan dalam memperoleh “porsinya” akibat sistem hirarki yang terpusat dan terorganisir tersebut. Muncul mafia-mafia daerah baru yang terus memperluas kerajaan daerahnya berasaskan desentralisasi ini. Seperti misalnya suatu daerah kecil di Sumatera katakanlah di provinsi X, apabila kita telusuri, dari yang menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Kepala Perkebunan, Kepala ini – Kepala itu, hingga mungkin sampai si Pak Camat, merupakan satu famili, minimal mempunyai suatu hubungan yang saling terkait. Belum lagi di daerah-daerah lainnya, para mafia ini lantas berlomba-lomba menegaskan desentralisasi korupsinya tersebut.
Korupsi Berevolusi
Beberapa kalangan mengatakan bahwa faktor kemiskinan dan kesejahteraan menjadi faktor utama terjadinya korupsi. Tingkat kesejahteraan petugas atau gaji para pegawai negara yang tidak mencukupi menjadi alasan kuat. Lihat saja Kerajaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang gagah tersebut. Apabila kita perhatikan, berapa gaji mereka ditambah tunjangan per bulannya. Mencukupi? Jangan lupa, berapa kasus yang harus mereka tangani setiap harinya. Katakanlah dengan standar gaji pegawai negeri sipil golongan Y, dibandingkan dengan gaji yang mereka terima, kasus yang jelas terpampang di hadapan mereka itu tidak jelas berapa banyak angka nolnya karena saking banyaknya. Apalagi jika melibatkan manusia-manusia korupsi kelas kakap. Beberapa waktu lalu saat saya berbincang-bincang dengan salah satu Jaksa Agung Muda di Kejagung RI, ia mengatakan “terkadang gaji perbulan jaksa-jaksa seperti kita ini sebanding dengan harga stelan jas yang dipakai oleh pengacara si terdakwa. Andaikata istri di rumah sedang sakit, anak menghadapi kenaikkan kelas, atau tanggungan keluarga membengkak, bagaimana jika ada terdakwa atau pengacaranya yang bersimpati kepada kita lalu mengamalkan sebagian isi dompetnya untuk diberikan pada kita. Lantas bagaimana?” Hal –hal ini seringkali menyeret para pembasmi manusia korupsi justru bergabung menjadi manusia korupsi. Inilah ironisasi yang sering didengung-dengungkan oleh masyarakat, akibat tingkat kesejahteraan yang sangat rendah hingga menyemarakan tingkat korupsi.
Tetapi hal ini lagi-lagi dipatahkan secara gamblang. Tingkat kesejahteraan tidak selamanya menjadi faktor utama korupsi. Lihatlah manusia-manusia korupsi itu, korupsi terbesar bukan dilakukan oleh para pegawai negara dengan gaji pas-pasan, tetapi justru dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dengan posisi tinggi dan gaji serta tunjangan ini-itu yang lebih besar lagi. Disinilah para manusia korupsi ini berevolusi. Korupsi menjadi bagian dari suatu profesionalisme.
Pertanyaan yang sering timbul, mengapa manusia melakukan korupsi? Mengapa pejabat penting dengan kedudukan serta penghasilan tinggi (termasuk guru besar di perguruan tinggi ternama dan pimpinan LSM yang mempunyai misi memberantas korupsi) justru terlibat dalam tindak pidana korupsi. Jawabannya sederhana; korupsi karena butuh, karena serakah, dan karena ada kesempatan. Korupsi yang tadinya dilakukan oleh orang-orang marginal, sekarang dilakukan secara lebih sistematis dan profesional.
Seorang sosiolog, Edwin H. Sutherland memperkenalkan korupsi yang berevolusi ini dengan istilah white collar crime, yang menjadi istilah terkenal dengan berbagai pengertian. Istilah ini kembali menjadi populer dengan terungkapnya kasus Enron dan kasus-kasus lain di Amerika Serikat dan Eropa. Di Indonesia, korupsi juga dilakukan oleh kelompok elite ini. Sehingga pada akhirnya korupsi tidak lagi sebagai suatu penyakit yang harus diberantas melainkan sebagai suatu profesionalisme atas suatu pekerjaan yang harus dilakukan.
BSK
BSK bukan PSK, adalah salah satu sifat dasar serta faktor lahirnya manusia-manusia korupsi ini. BSK merupakan singkatan dari butuh, serakah, dan kesempatan. Kebutuhan manusia terus meningkat seiring bertambahnya waktu. Terkadang kebutuhan ini semakin cepat meningkat tanpa adanya suatu kendali hingga pada akhirnya si manusia tersebut sudah tidak menyadari lagi kebutuhan apa yang seharusnya ia penuhi. Banyak faktor yang mendorong kebutuhan manusia. Dalam banyak buku ekonomi dasar, kita melihat bahwa kebutuhan manusia pada dasarnya dibagi atas tiga macam, kebutuhan primer, sekunder, dan tersier atau lux. Yang menjadi masalah ialah kebutuhan kedua dan ketiga ini. Karena satu dan lain hal, seperti faktor tuntutan sosial, budaya, dan lain-lain, kebutuhan sekunder dan tersier ini dengan sendirinya berubah menjadi kebutuhan primer. Hal ini bukanlah masalah, tetapi menjadi masalah besar apabila kemampuan seseorang tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhannya. Lahirlah satu jenis manusia korupsi lagi di Indonesia. Korupsi karena kebutuhan (need). Selanjutnya serakah, terkadang serakah merupakan bagian dari sifat dasar manusia. Dan rasa ini bermula dari rasa tidak puas. Manusia memang selalu tidak puas, hal ini bagus dalam artian apabila manusia ini berjuang (positif) untuk memenuhi kepuasannya, tetapi yang terjadi kemudian apabila kepuasannya ini berubah menjadi keserakahan. Ia tidak cukup hanya dengan punya ini punya itu, jabatan ini jabatan itu, kemudian ia ingin seluruhnya agar dapat ia dapatkan. Nah di sinilah lahir jenis manusia korupsi lainnya, manusia korupsi karena serakah (greed). Terakhir ialah manusia korupsi karena kesempatan. Korupsi yang terjadi karena adanya suatu kesempatan atau peluang. Pada awalnya mungkin tidak ada itikad untuk melakukan korupsi (seperti alasan kebutuhan atau serakah), tetapi dengan adanya kesempatan yang begitu besar di tengah mata, terkadang iman seseorang dapat secepat itu berubah. Di sinilah muncul jenis manusia korupsi yang terlahir, manusia korupsi karena kesempatan (chance).
Sejak indonesia belum “berkembang” menjadi serumit dewasa ini, Bung Hatta pernah berkata bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Meski banyak ditentang oleh ahli kebudayaan, fakta-fakta menunjukkan bahwa perilaku korup memang telah menjadi keseharian kita. Perbuatan yang diulang-ulang dan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari tentu pantas disebut sebagai bagian dari kebudayaan. Setiap hari kita mengalami dan menyaksikan contoh-contoh yang semakin meningkat, baik dari sisi jumlah maupun kualitas modusnya. Kosa kata untuk mengkomunikasikan gejala korupsi juga kian hari kian berkembang, menimbulkan efek berganda di tengah masyarakat. Uang semir, uang pelicin, uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, uang kehormatan, dan sejenisnya, kini sudah menjadi kosa kata yang tidak lagi membuat pendengarnya mengernyitkan dahi. Semua seudah dianggap sebagai aktivitas wajar, yang tidak mengandung unsur penyimpangan.
Definisi Korupsi Akhirnya
Definisi korupsi mungkin adalah hal yang sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Kalau ditanya “rambut itu apa”, tanpa harus melihat definisi bakunya di buku, semua orang sudah tahu apa yang dimaksud dalam pertanyaan itu. Sama seperti korupsi, “apakah itu korupsi”, ada baiknya kita tidak menjawab. Karena saking banyaknya manusia korupsi di Indonesia, hinnga kita sendiri pun tidak sadar apakah kita ini adalah manusia korupsi tersebut atau bukan. Jadi, apa perlunya lagi menanyakan definisi korupsi di Indonesia?
Dalam bukunya, Controlling Corruption, Robert Klitgaard mengajak pembacanya untuk tidak menghabiskan waktu membahas definisi korupsi, karena menurutnya hal terpenting adalah membahas cara-cara untuk memberantas korupsi. Itulah yang terjadi di Indonesia. Perbincangan serta perdebatan panjang mengani definisi korupsi terus saja dibahas tetapi pembahasan menangani cara pencegahannya terkadang sengaja diperlambat. Itulah Indonesia. Negara dengan populasi manusia korupsi terhebat di dunia.
Jadi pada akhirnya, apabila kita mendengar pertanyaan, “Siapa yang korupsi?”. SSsst,.. kita semua korupsi...
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2004 dan sekarang sedang melakukan research di Direktorat PJKAKI KPK. Penulis dapat dihubungi di paku.utama@gmail.com.
1 comment:
menurut Saya, sebab korupsi adalah budaya di Indonesia yang sudah menurun selama ini. Hal yang paling bisa mencegah korupsi adalah dimulai dari diri kita sendiri
Post a Comment