Monday, February 7, 2011

Ada Apa Dengan DPR?

The more corrupt the state, the more laws. -Publius Cornelius Tacitus


Coba bayangkan. Kalau anggota DPR kita yang korup, kemudian dihukum mati. Apalagi kalau dia bukan hanya anggota biasa, tetapi salah satu dari pemimpinnya! Apakah berakibat lembaga perwakilan itu akan lebih bersih KKN dan mampu menjalankan fungsi utamanya? No! A Big No!

Ilustrasi di atas cuma impian di negeri ini. Sebab untuk memeriksa, mengadili, apalagi menjatuhkan hukuman mati bagi anggota DPR tidak semudah itu. Sebab, ada sejumlah payung hukum dan politik yang bakal menyelamatkan mereka.

Berapa banyak sudah anggota DPR yang diusut, diselidiki dan disidik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya: ironis mengingat banyaknya korupsi yang terjadi di sana tetapi hanya segelintir yang “diproses” secara hukum. Kalau ditanya, dari mana memulainya, hal tersebut bukanlah persoalan sulit. Ambil saja contoh yang sangat hangat, kasus Korupsi Dana BLBI yang melibatkan beberapa anggota DPR. Sejak pertama kali kasus BLBI ini terbongkar, nasibnya tak menentu dan menjadi timbul tenggelam. Pada satu masa, pejabat pemberantas korupsi (seperti KPK) mencetak prestasi dengan menahan oknum-oknum yang terlibat kasus ini, tetapi di suatu masa lain, kasus ini akan surut kembali karena keburu tertutup oleh kasus-kasus hangat lainnya. Sedangkan kasus ini sendiri pun belum sepenuhnya selesai diproses secara hukum.

Dengarlah (penggalan) lirik lagu yang dinyanyikan Slank berjudul “Gosip Jalanan”.

Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini

Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara

Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit

Bahkan dengan mudahnya kita dapat membayangkan seperti apa keadaan dalam gedung di “Senayan” tersebut. Mengada-ada? Tidak. Lirik tersebut dibuat dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Di sinilah peran seniman dan KPK dengan cerdas memadukannya dalam upaya pemberantasan korupsi yang tengah digiatkannya.

Hal yang sangat menarik ialah selang beberapa lama setelah lagu tersebut diputar di masyarakat, Liputan 6 mengadakan polling untuk mengetahui siapakah yang lebih dipercaya apakah DPR atau Slank. Mayoritas masyarakat lebih percaya grup band “Slank” ketimbang DPR.

i. Hasil polling Liputan 6[1]

Siapa yang berani masuk ke dalam ”kerajaan legislatif” itu? Polisi, Jaksa, atau KPK yang dikatakan jagoan mengusut kasus korupsi harus dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka mampu memberantas korupsi dengan baik dan tanpa pandang bulu. Padahal dengan bukti-bukti yang ada sudah cukup alasan untuk meneliti, dan menginvestigasi dugaan kasus korupsi di lembaga perwakilan rakyat itu.

Masih sulit mencari bukti tentang korupsi di DPR? Ada cara lain yang lebih mudah. Coba telusuri, siapa-siapa saja dan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka sebelum menjadi anggota parlemen. Untuk pengusaha besar seperti Aburizal Bakri, Baramuli, atau Arifin Panigoro, kita tidak usah heran kalau mereka memang selama ini sudah tinggal di daerah elit Menteng, Kebayoran Baru atau Pondok Indah.

Bagaimana halnya dengan, maaf, para anggota yang tadinya, untuk mengontrak rumah saja, masih meminjam dari handai tolan ke sana kemari. Apalagi, bagi yang datang dari daerah, ketika datang ke Jakarta pertama kali tak sedikit yang masih mengontrak atau ikut saudara. Tetapi, setelah dalam kurun waktu sekejap, aset dan gaya hidup mereka sudah berubah bagai hidup di dunia mimpi. Coba tengok di kartu nama yang mereka bagi-bagikan, alamat rumahnya tak sedikit yang kini sudah menjadi orang Kebayoran Baru, Kemang, Pondok Indah, atau penghuni apartemen di sekitar kawasan segitiga emas Jalan Sudirman-Kuningan-Thamrin, Jakarta.

Begitu pula halnya dengan kendaraan yang dipakainya. Memakai istilah pengusaha Keturuan Tionghoa di daerah Pecinan Kota, Jakarta, mobil yang dipakainya kebanyakan ”mobil orang selatan,” sekadar menggambarkan pejabat, pegawai negeri yang tinggal di daerah Jakarta Selatan. Ciri-ciri kendaraan yang dipakainya, asal mewah, tetapi tidak memikirkan aspek efisiensi, dan resale value. Pokoknya gaya, biar boros, tidak ada jaminan purna jual, atau nilai jualnya rendah tidak peduli.

Tak percaya, cobalah mampir ke rumah, atau ke parkir mobil khusus untuk anggota dewan di Senayan. Suasananya tak ubah seperti showroom mobil-mobil impor mewah di sekitar Jalan Arteri Pondok Indah, Pecenongan atau Kelapa Gading.[2]

Mengapa perilaku orang "selatan" itu (yang) tidak ekonomis? Jawabnya sederhana, mereka mendapatkan uang sudah pasti tidak perlu dengan kerja keras, tanpa harus sekolah tinggi-tinggi, juga tanpa kucuran keringat. Akan tetapi cukup dengan mengandalkan kekuasan atau wewenang yang dimilikinya.

Tak heran, jika mobil mereka berderet-berderet dan bergonta-ganti. Sebab, cara mendapatkan uangnya tak sesulit pedagang, guru, dosen, nelayan, atau petani yang mesti memeras otak dan kerja keras. Nah, sejak satu dasa warsa lebih reformasi di negeri ini berjalan, deretan mobil mobil-mobil selatan itulah yang memadati lahan perparkiran di gedung DPR.

Dari mana mobil-mobil orang selatan dan rumah-rumah mewah para anggota yang terhormat itu didapat? Silahkan para auditor independen, penyidik polisi, jaksa, dan KPK untuk menyidik dan mengaudit. Yang pasti, hasilnya sangat patut dapat dicurigai dan diduga dari aneka macam suap berkenaan dengan tugas mereka melakukan kontrol, dan pembuat undang-undang. Posisi ini memang ”basah”, terutama di negeri ini yang tingkat korupsinya subur.

Selain kendala yuridis tadi, ada lagi alasan politis. Dalam prosesnya, seorang anggota DPR harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, untuk memajukan diri, seorang calon harus penuh dengan sarat modal. Kedua, seorang calon untuk maju harus memerlukan dukungan dari partai politiknya. Dengan kata lain, untuk maju ia sudah sarat dengan beban kepentingan politik. Dan ketiga, sesuai dengan pengalaman pemilihan umum kita yang terdahulu, banyak calon yang dipenuhi dengan sarat kecurangan.[3]

Dari ketiga hal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertama seseorang itu untuk menjadi calon legislator, ia sudah sepatutnya mempunyai landasan moral dan ideologi yang bersih. Seorang calon harus melihat bahwa ia maju bukan untuk mengejar segala fasilitas yang ada di Senayan tersebut, tetapi harus berlandaskan bahwa ia sebagai pengemban amanah dalam rangka pembangunan bangsanya.

Kedua, bagaimana bila seorang calon tersebut luput dari kepentingan politik jikalau pencalonannya itupun karena partainya, dan apabila terpilih pun, ia pasti harus tidak melupakan jasa-jasa partainya. Nah, bagaimana ia dapat mengedepankan idealismenya apabila terdapat suatu hal bertentangan dengan kepentingan partainya.

Yang terakhir, dapat kita ketahui dari media bahwa pada saat pemilihan umum calon legislatif pada 2004, ternyata diketahui banyak sekali calon yang memalsukan ijasahnya. Adalah Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang mengungkapkan perihal para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bermasalah itu. Menurut Panwaslu, jumlah mereka mencapai 257 orang. Dari jumlah itu 83% terindikasi: (1). Memanipulasi ijazah pendidikan; (2). Masih berstatus pegawai negeri; (3). Berstatus tersangka tindak pidana dan money politics; dan (4). Telah dipecat dari partai.[4]

Lalu dari para perwakilan yang terhormat ini, apa yang dapat kita harapkan? Membuat undang-undang? Bagaimana mereka dapat membuatnya jika yang menjadi sebagian anggotanya adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum. Bahkan mungkin orang-orang tersebut hanyalah tamatan SMA atau mungkin SD. Dari hal itupun, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk memberantas korupsi, kalau mereka sendiripun tidak mengerti tentang korupsi atau mungkin menghalangi pemberantasan korupsi.[5]

Ironis! Lantas apabila dari mereka ada yang korup, mungkinkah kita mematikannya? Wah, kalau dimatikan bisa-bisa satu Senayan mati semua.

ii. Banyaknya koruptor.[6]



[1] Gossip Jalanan, lagu lama Slank di album PLUR yang tahun ini dirilis ulang, dikabarkan sempat membuat DPR berencana menggugat Slank namun akhirnya batal. Berkaitan dengan topik itu, ada polling menarik yang sedang dipasang di situs webnya SCTV saat ini. Materi jajak pendapatnya adalah “Slank menciptakan lagu “Gosip Jalanan” yang menyindir perilaku anggota DPR terkait persoalan korupsi. DPR berang. Siapakah yang lebih Anda percaya: Slank atau DPR?Hasil sementara hingga saat itu, pukul 13.57 WIB, adalah seperti gambar di atas. Sumber <http://mymusicblogging.com/musikindonesia/2008/04/10/percaya-slank-atau-dpr/>, diakses pada 3 Desember 2010.

[2] Pemerintah dalam hal ini seharusnya dapat dengan maksimal menerapkan asas pembuktian terbalik terhadap para oknum yang diduga mendapatkan kekayaan sangat besar secara tidak wajar.

[3] Lihat Laporan Singkat (risalah) Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pengawas Pemilu pada Senin, 10 Mei 2010 dan bandingkan dengan Public Accontability Report – Indonesia Corruption Watch: Korupsi Pemilu Legislatif 2009. Lebih lanjut, Laporan Dana Kampanye Diduga Penuh Manipulasi, <http://antikorupsi.org/indo/content/view/14608/1/>, diakses pada 25 Agustus 2010.

[4] Media Indonesia, 12 Agustus 2004. Baca juga Panwaslu Harapkan KPU Sisir Anggota Legislatif Bermasalah di Daerah, http://www.elshinta.com/v2003a/pemilu.htm?id=10434&i=830&qr=, diakses 11 Desember 2010.

[5] Baca La Ode Sebut Kasus Korupsi Besar di DPR, http://www.antaranews.com/berita/1270741093/la-ode-sebut-kasus-korupsi-besar-di-dpr, diakses 20 Desember 2010.

[6] Kalau memang betul sedemikian banyak jumlah koruptor di negeri ini, dan kalau memang benar ada rencana koruptor diberi seragam khusus. Seberapa banyak pula tukang jahit pakaian yang dibutuhkan di republik ini? <http://kartunpolitik.blogdetik.com/2008/08/30/penjahit-baju-koruptor-berkah-terselubung/>, diakses 3 Desember 2010.

Perjanjian Ekstradisi dan Uang Haram Koruptor di Singapura: Kemesraan Indonesia-Singapura

Perjanjian Ekstradisi dan Uang Haram Koruptor di Singapura: Kemesraan Indonesia-Singapura

Pada 27 April 2007, pemerintah Republik Indonesia dengan gagah berani menandatangani perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement). Lantas apa yang akan kita harapkan dari peristiwa tersebut? Beberapa hari kemudian, para cendekia kritis Indonesia menegaskan, “Perjanjian ekstradisi ini merendahkan martabat Bangsa Indonesia; Tidak ada untungnya untuk Indonesia!”

Jika kita coba kritisi, apa dan mengapa perjanjian tersebut lahir dan yang paling penting ialah mengapa sampai (akhirnya) Singapura mau menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia setelah sekian lama menolak? Dari hal tersebut terdapat dua permasalahan yang menjadi alasan utama Singapura akhirnya mau menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut.

Pertama, ada pendapat yang menilai bahwa Singapura (mau) menandatangani perjanjian akibat dari (tekanan) penghentian arus pasir dan granit dari Indonesia. Mengapa? Akibat dari penghentian ekspor ini secara signifikan telah mengguncang agenda pembangunan Singapura.[1]

Dalam ukuran suatu negara yang luas wilayahnya tidak lebih besar dari kota Jakarta, Singapura sangat mengandalkan pembangunan konstruksi untuk menunjang perputaran roda bisnis serta roda pemerintahannya. Kita melihat setiap tahunnya beberapa infrastruktur dengan cepat dibangun. Selain itu jangan lupa bahwa Singapura sedang giat-giatnya melakukan reklamasi pantai. Reklamasi pantai ini membutuhkan beribu-ribu ton pasir dan granit dalam prosesnya.

Salah satu kelemahan besar yang dimiliki Singapura ialah Singapura tidak memiliki sumber daya alam yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hal-hal tersebut di atas. Bahkan dapat disimpulkan bahwa Singapura tidak memiliki sumber daya alam sama sekali. Maka keberadaan Indonesia dalam hal ini sangatlah penting, mengingat Indonesia terkenal akan kekayaan alamnya yang melimpah ruah serta keramah-tamahan orang Indonesia yang berlandaskan budaya timur, bodoh, dan mudah disogok.

Tetapi kita harus dapat menilik lebih jauh terhadap pendapat pertama. Memang benar Singapura sangat membutuhkan pasir dan granit tersebut dari Indonesia, tetapi masih banyak penyuplai pasir dengan harga murah di pasar dunia seperti Vietnam. Rasa-rasanya kebutuhan tersebut masih dapat diatasi sehingga argumen ini tidak cukup kuat.

Pendapat kedua bahwa Singapura mau menandatangani perjanjian ekstradisi ini karena mendesaknya kebutuhan akan kesiapan militer Singapura. Sebagai negara dengan luas wilayah yang kecil, Singapura sangat membutuhkan “arena“ untuk berlatih militer. Sebagai negara berperekonomian maju, walaupun Singapura mempunyai sistem pertahanan dan peralatan militer yang canggih namun sebagaimana pisau yang tajam apabila tidak pernah diasah akan menjadi tumpul; maka hal tersebut tidak menjadi maksimal apabila Singapura tidak mempunyai kesempatan untuk mempersiapkannya dengan cara berlatih.[2]

Secara geografis Singapura dikepung oleh negara-negara yang sebagian wilayahnya masih suburban. Singapura tahu dan sadar betul bahwa bahwa sewaktu-waktu pergolakan bisa saja terjadi akibat konflik ekonomi, politik, ataupun militer. Malaysia sebagai salah satu musuh Singapura dapat sewaktu-waktu menyerang secara militer. Kalau Indonesia, mungkin masih bermimpi untuk bisa menyerang Singapura secara militer. Latihan militer di Indonesia membuat Singapura harus siap apabila diperlukan untuk beroperasi militer di Malaysia, Filipina, Thailand, dan bahkan di Indonesia.[3]

Hal tersebut menjadi poin keuntungan buat Singapura. Lantas apa untungnya perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerjasama pertahanan ini terhadap Indonesia? Dari segi militer, kita dapat melakukan transfer of knowledge atas teknologi serta strategi militer yang dimiliki Singapura. Selanjutnya melalui perjanjian ekstradisi kita dapat mengambil harta karun atau uang haram para koruptor Indonesia yang berada di Singapura. Inilah yang menjadi salah kaprah!

Perjanjian Ekstradisi Tidak Mengembalikan Uang Para Koruptor

Salah apabila kita menganggap dengan perjanjian ekstradisi dapat mengembalikan uang haram para koruptor Indonesia di Singapura. Perlu ditegaskan bahwa perjanjian ekstradisi hanya mengatur pengembalian orang tetapi tidak mengatur pengembalian aset koruptor yang disembunyikan dalam bank-bank yang tersebar di Singapura. Dalam hal ini terdapat banyak kelemahan yang mengakibatkan Indonesia menjadi tidak mendapatkan apa-apa dari perjanjian ekstradisi ini.

Pertama, kenyataan bahwa perjanjian ekstradisi tidak akan dapat mengembalikan aset dan uang korupsi secara langsung, karena perjanjian ekstradisi hanya mengatur pengembalian orang. Dalam transaksi money laundering, para pelaku biasanya dengan cepat sudah mengantisipasikan hal-hal seperti ini dengan memecah dan menyebar aset ke beberapa rekening bank di negara lain (misalnya Hong Kong) dan juga mengalihkannya ke dalam perusahaan fiktif yang didirikan di banyak negara yang sulit terdeksi dari petugas anti pencucian uang. Sehingga besar kemungkinan aset dan uang hasil korupsi ini sudah tidak ada lagi di Singapura.

Kedua, sebagai bekas jajahan Inggris, Singapura menganut sistem hukum Anglo-Amerika atau dikenal sebagai Common Law System. Dalam sistem ini yang memutuskan seseorang diekstradisi atau tidak adalah pengadilan, bukan pemerintah. Permintaan pemerintah Indonesia atas pengembalian koruptor (ekstradisi) sepenuhnya tergantung pada kewenangan pengadilan untuk memutuskan. Oleh karena itu, perjanjian ekstradisi yang sudah ditandatangani oleh kedua belah negara menjadi tidak maksimal apabila dihadapkan pada penerapan hukum di Singapura ini.[4]

Dalam suatu kebiasaan internasional, suatu ekstradisi sangat mungkin untuk ditolak. Dasar kuat menolak ekstradisi adalah bila permintaan ekstradisi (diduga) bertujuan mengadili berdasarkan pertimbangan ras, agama, politik, atau etnis.[5] Indonesia mempunyai sejarah panjang dan kelam dalam diskriminasi berdasarkan ras dan minoritas agama. Baik Islam dan non-Islam.[6]

Yang menjadi masalah adalah apabila mengacu pada sistem hukum yang berlaku di Singapura, di mana hanya pengadilan yang berwenang menentukan suatu ekstradisi dan pemerintah menjadi lepas tangan terhadap hal ini. Pemerintah Indonesia akan benar-benar tidak memperoleh keuntungan apapun dari perjanjian ekstradisi ini.

Bagi para pengacara Singapura yang pintar dan selevel dengan pengacara-pengacara dunia seperti wall street lawyer, dan memiliki ketahanbantingan yang tinggi, diadu dengan para pemburu harta koruptor dan pengacara kita, dan melihat lebih jauh bahwa tidak ada kepedulian pemerintah Indonesia atau putusan pengadilan nasional yang secara signifikan menyatakan adanya uang haram tersebut; tersedia banyak alasan yang dapat diajukan kepada hakim untuk menolak ekstradisi. Dengan aset yang begitu besarnya, para koruptor Indonesia tentu saja dapat dengan mudah mempekerjakan pengacara-pengacara handal yang dimiliki Singapura.

Kasus Sipadan-Ligitan melawan Malaysia saja (yang sudah menyewa banyak pengacara asing ketimbang pengacara lokal) kita kalah dan telak, lalu bagaimana nanti dengan imbas pertarungan hukum di arena internasional akibat ekstradisi ini?

Kembali mengacu kepada fakta bahwa alasan paling kuat untuk menolak ekstradisi adalah langkanya kepercayaan dunia pada birokrasi penegak hukum Indonesia yang bisa dibeli, sistem hukum yang terlalu formalistis, dan praktek peradilan yang korup dibarengi dengan tumbuh suburnya mafia peradilan.

Perjanjian Ekstradisi merupakan Kompensasi

Poin utama yang perlu dipahami bahwa perjanjian pertahanan merupakan kepentingan Singapura. Sejarah mencatat susah sekali Singapura untuk berkeinginan melakukan ekstradisi dengan Indonesia. Begitu Singapura bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, bukan main bangganya pemerintah Indonesia terhadap “jagonya“ usaha lobi dari para perwakilan Indonesia.

Dengan mudahnya pemerintah Indonesia diiming-imingi perjanjian ekstradisi untuk mengejar aset dan uang korupsi yang berada di Singapura padahal apabila kita renungkan, keuntungan apa yang akan Singapura dapatkan? Seimbangkah itu dengan apa yang akan Indonesia dapatkan?

Perlu kompensasi atas perjanjian pertahanan ini terhadap Indonesia. Tetapi perjanjian ekstradisi RI -Singapura ini bukanlah suatu kompensasi. Perjanjian ekstradisi ini justru menjadi perjanjian pokok atau utama dalam usaha pengembalian aset dan uang korupsi.

Celakalah kita apabila ternyata memang benar, perjanjian ekstradisi ini merupakan kompensasi atas keuntungan yang Singapura dapatkan atas perjanjian pertahanan. Sudah kedaulatan kita dibagi untuk bermain “perang-perangan“ oleh Singapura dan yang lebih parah di mana harga diri dan martabat Indonesia?

Indonesia Terkorup dan Singapura Terbersih

Pernyataan di atas sudah lumrah didengar oleh masyarakat Indonesia. Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Demikian hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC.[7]

Pernahkah kita mengkritisi apakah Singapura itu korup atau tidak, bagaimana mereka malakukan praktik perbankan, dan bagaimana mereka mengamankan uang korupsi Indonesia di bank-bank Singapura?

“Some US$ 200 billion of Indonesian capital was sitting in Singaporean banks. That compared with an Indonesian GDP of US$ 350 billion. Some money in city state banks is legitimate expatriated capital and some is ill gotten gains[8]

Saat itu merupakan masa-masa di mana Indonesia berada dalam keterpurukan krisis ekonomi tahun 1998 dan hal tersebut memperlihatkan banyaknya aset hasil korupsi tersebut yang terbang ke Singapura. Lebih dari 50% dana masyarakat saat itu lari ke Singapura. Dapatkah kita berasumsi bahwa Singapura sebagai salah satu negara terbersih dari korupsi justru mendapatkan modal awalnya untuk membangun negara itu menjadi bersih justru dari uang hasil korupsi?

Penulis teringat oleh pernyataan yang diucapkan sahabat penulis seorang warga Negara Singapura, “Kamu tahu, orang Singapura memandang orang Indonesia yang berada di Singapura sebagai apa? Kalau mereka berada di pusat perbelanjaan seperti Orchard, Marina Bay, Raflles, Katong, atau Shenton Way (pusat perbelanjaan, bisnis, dan daerah elit) maka mereka adalah koruptor, sedangkan kalau mereka berada di kawasan pinggiran maka mereka itu pembantu.”

Sudah habis martabat dan harga diri Indonesia di mata warga Negara Singapura. Ditambah dengan kasus-kasus yang melibatkan koruptor Indonesia yang bertempat tinggal di Singapura, berobat di Singapura, bahkan Gayus pun tak sengaja “tertangkap” di Orchard Road, maka tak heran apabila warga Negara Singapura mencap Indonesia sangat rendah dan hina sebagai koruptor.

Lucu juga apabila dikritisi kembali permasalahan ini, Singapura membenci Indonesia sebagai koruptor tetapi mereka mencintai koruptor Indonesia untuk menyimpan hasil korupsinya di Singapura. Begitu juga dengan Indonesia, berbondong-bondong setiap bulan, setiap tahun warga Negara Indonesia menghabiskan liburannya bertamasya dan berbelanja ke Singapura, walaupun sadar (mungkin tidak sadar) bahwa warga Negara Singapura mencemooh warga Negara Indonesia di sana.

Kalau mungkin dulu ada lagu dengan lirik, “Indonesia sejak dulu kala selalu dipuja-puja bangsa...“. Mungkin harus diubah. “Indonesia sejak dulu kala selalu dijual-jual bangsa...“. Apakah kita menjual bangsa?



[1] Lebih lanjut baca Dongeng Ekstradisi, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/05/07/KL/mbm.20070507.KL123863.id.html, diakses 20 September 2009

[2] Ibid.

[3] Singapura rawan terhadap gangguan keamanan. Untuk mengatasi hal itu maka diperlukan segala upaya dalam rangka mempersiapkan kesiapan militer. Termasuk arena untuk latihan militer. Ibid.

[4] Ibid.

[5] Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

[6] Lihat Op.Cit.

[7] Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih. Lihat PERC: Indonesia Negara Paling Korup, <http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup>, diakses pada 6 Oktober 2010.

[8] Joe Studwell, Asian Godfather: Money and Power in Hong Kong and South East Asia (London: Profile Books Ltd, 2007), hal. 35.