Wednesday, January 30, 2008



Akankah Datang Hari?

*Paku Utama

Enam visi reformasi gerakan mahasiswa Mei 1998 tidak pernah tercapai. Keenam poin tersebut adalah: 1. Adili Soeharto, 2. Tegakkan supremasi hukum 3. Penghapusan dwifungsi ABRI/ TNI, 4. Amandemen UUD 1945, 5. Otonomi daerah seluas-luasnya, 6. Penegakkan budaya demokrasi rasional, dan penghapusan budaya KKN.

Pertama, supremasi hukum untuk mengadili Soeharto tidak pernah tercapai. Sampai saat ini tidak sepeserpun aset hasil korupsi Soeharto yang berhasil dikembalikan ke negara. Selanjutnya memang sudah ada kemajuan cukup baik dengan tidak adanya lagi dwifungsi ABRI terhadap trias politika Indonesia, sehingga militer tidak mempunyai peran dan kekuasaan yang sangat besar terhadap politik dan pemerintahan Indonesia dan (unsur keempat) UUD 1945 sudah mencapai proses amandemen empat kali, hasil yang baik.

Selanjutnya otonomi daerah? Berhasil dilaksanakan. Berhasil melebarkan kaki-kaki dan cakrawala korupsi di seluruh daerah di Indonesia. Penegakan demokrasi dan menghapus KKN? Probosutedjo, Bob Hasan, dan kawan-kawan sudah merasai hangatnya sofa serta sejuknya jeruji penjara. Tetapi, minimal Mbak Tutut masih bisa duduk tenang, Bambang masih bisa merajut cinta dengan masyuk, dan minimal toh Tomi sudah bebas!

Kita coba refleksikan dan timbang-timbang, kurang lebih memang pemerintah dibantu oleh masyarakatnya sudah cukup baik mengejar visi reformasi gerakan mahasiswa 1998, tetapi coba kritisi lebih jauh; esensi dari reformasi itu ialah Soeharto. Masih hangat dibenak kami saat kerusuhan 1998 terjadi para mahasiswa dan elemen lainnya yang turun ke jalan meneriakkan kata “Turunkan HARGA (Soeharto dan Keluarga)”. Berapa ratus triliun asset negara dan sumber daya alam habis dikuras oleh satu keluarga selama puluhan tahun. Jutaan jiwa hilang akibat konflik yang tidak habis.

Mantan presiden Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Soeharto meninggal pada pukul 13.10 dalam usia 87 tahun. Pertanyaan berikutnya, “bagaimana kasus hukumnya?”. Paling penting, “bagaimanakah proses penarikan aset-aset hasil korupsi selama 32 tahun untuk kemakmuran rakyat?” Mungkinkah? Sebagaimana kita ketahui, hal ini merupakan hal yang tidak tentu jawabannya. Tidak pernah ada proses hukum secara signifikan mengenai status hukum Soeharto, baik itu secara sengaja atau tidak disengaja oleh para pejabat publik yang berwenang.

Kurang ajar?! Tidak, bukannya kita tidak menghormati serta menghargai jasa-jasa beliau yang sudah membangun Indonesia hingga seperti saat ini, tetapi kita perlu logis bahwa apa masalah esensi yang terkandung di dalamnya. Dan bagaimanakah pengaruhnya terhadap kemakmuran serta kepentingan masyarakat banyak, khususnya Indonesia. Terlau banyak tenaga yang terkuras, terlalu banyak uang yang dikeluarkan, dan terlalu banyak waktu yang terbuang. Proses hukum Soeharto bagai usaha menggenggam angin.

Maaf Korupsi

Memaafkan dan tidak memproses kasus korupsi Soeharto adalah strategi bersama dalam penghancuran, pembodohan, dan pemiskinan bangsa Indonesia. Simak pengalaman negara lain seperti Filipina atau Nigeria dalam memproses secara hukum dan mengembalikan asset korupsi bekas pemimpinnya yang korup, dengan memutuskan satu rantai yang dibangun oleh para pemimpin tersebut menjadikannya jalan untuk menghancurkan seluruh fondasi korupsi yang dibangun berpuluh tahun.

Gerakan serta upaya pencabutan TAP MPR No. XI/MPR/1998 agar Soeharto dapat terbebas dari proses hukum merupakan salah satu dari banyaknya upaya “mengkorupsikan supremasi hukum”.

Ironis, kata yang paling tepat menggambarkan keadaan bangsa kita ini. Disaat bangsa kita dilanda berbagai keterpurukan dan musibah, orang yang menjadi kunci utama sedang duduk menikmati masa bahagia hari tuanya bersama anak cucunya hingga akhir hayatnya ia dijemput oleh sang malaikat. Cobalah sekilas kita tengok sejarah negara lain.

Bandingkan dengan nasib banyak diktaktor lain di berbagai belahan dunia. Pada tanggal 25 Februari 1986, Ferdinand Marcos harus meninggalkan jamuan malamnya ketika rakyat mengepung istana Malacanang. Joseph Mobutu Sese Seko, mantan Presiden Zaire, diusir dari negaranya oleh rakyatnya sendiri setelah berkuasa 32 tahun. Alangkah lucunya melihat 32 tahun lamanya masa berkuasa Mobutu juga sama dengan lamanya berkuasa Soeharto sebagai Presiden.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa proses pergantian rezim secara revolusioner, yang bermula di negara-negara Dunia Ketiga, lalu merembet ke negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah, pada umumnya ditandai oleh tiga hal. Pertama, para pemimpin negara yang digulingkan oleh aksi masa, dan bukan oleh pemilihan umum, bahkan seringkali dipaksa hengkang dari negaranya ( seperti Shah Iran, Marcos, Mobutu, dan Benazer Bhutto), dipenjara oleh mereka yang menggulingkannya (seperti Soekarno dan Estrada), atau dibunuh melalui pengadilan rakyat (seperti Caesescu). Kedua, setelah digulingkan, melarikan diri, atau (paling parah) dibunuh, aparatur politik yang menjadi basis kekuasaannya dipreteli dan dibubarkan. Dan ketiga, kekayaannya disita oleh penguasa baru untuk kemakmuran serta kepentingan rakyat (seperti Soekarno, Marcos, dan Mobutu).[1]

Pelengseran Soeharto merupakan “extraordinary case” atau kasus luar biasa dengan banyak pengecualian, terutama dari tiga hal di atas. Ia boleh tetap dengan tenang menikmati hari tuanya di rumah pribadinya di Jalan Cendana, Meteng Jakarta. Golkar dan militer yang merupakan basis kekuasaannya tidak dipreteli atau rontok kekuasaannya. Sebaliknya, Golkar kembali menjadi partai penguasa secara de facto, walaupun bukan merupakan partai pengusung calon presiden yang sekarang menjabat. TNI masih tetap merupakan kekuatan politik yang riil, dengan jaringan sampai ke desa.[2]

Kekayaan keluarga besar Soeharto dan kroninya tidak mengalami pengurangan yang berarti. Bahkan, sudah ada tanda-tanda mereka akan kembali lagi menguasai ekonomi negeri ini.

Kapan
Saat semua orang berharap tegaknya keadilan serta pemberantasan korupsi di Indonesia, para pemimpin dan pejabat negara kita harus sadar bahwa banyak harapan di gantungkan di pundak mereka. Sebesar atau sekecil apapun harapan tersebut, itu merupakan harapan yang 63 tahun yang lalu telah melahirkan suatu negara dalam perpetaan negara di dunia, Indonesia.

Butuh proses yang tidak singkat dan tidak mudah dalam penegakkan keadilan, kesejahteraan, demokrasi, serta pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi kita yakin bahwa kita bisa! Dan hingga saatnya nanti Indonesia bukanlah sebuah negara uthopis semu yang fondasinya merupakan kaki-kaki kapitalis sembari meghisap kedigdayaan Indonesia, melainkan sebuah negara Indonesia yang berdaulat dan sejajar di mata dunia ini!

Sekali lagi, akankah datang hari?.. we are going there,. Pasti!



[1] George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal. Xiii.

[2] Lihat ibid.

1 comment:

Kristina Dian Safitry said...

sebagai wong cilik kayak saya ini cuma bisa berharap: bisa melihat negara kita terlepas dari lingkaran koruptor. Cuma berharap doang. tidak lebih dari pada itu. sebab saya terlanjur apatis akan adanya tegaknya sebuah keadilan. Fakta yg saya lihat selama diluar negeri(6thn di Hong Kong) korupsi yg dilakukan aparat semakin mengila. makanya jangan heran jika setiap minggu banyak para migrasi yang melakukan aksi unjuk rasa nuntut berbagai kebijakan ke wakil pemerintah kita diluar negeri. Kapan ya pemerintah kita itu mau ndegerin aspirasi rakyat?