Monday, February 7, 2011

Ada Apa Dengan DPR?

The more corrupt the state, the more laws. -Publius Cornelius Tacitus


Coba bayangkan. Kalau anggota DPR kita yang korup, kemudian dihukum mati. Apalagi kalau dia bukan hanya anggota biasa, tetapi salah satu dari pemimpinnya! Apakah berakibat lembaga perwakilan itu akan lebih bersih KKN dan mampu menjalankan fungsi utamanya? No! A Big No!

Ilustrasi di atas cuma impian di negeri ini. Sebab untuk memeriksa, mengadili, apalagi menjatuhkan hukuman mati bagi anggota DPR tidak semudah itu. Sebab, ada sejumlah payung hukum dan politik yang bakal menyelamatkan mereka.

Berapa banyak sudah anggota DPR yang diusut, diselidiki dan disidik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya: ironis mengingat banyaknya korupsi yang terjadi di sana tetapi hanya segelintir yang “diproses” secara hukum. Kalau ditanya, dari mana memulainya, hal tersebut bukanlah persoalan sulit. Ambil saja contoh yang sangat hangat, kasus Korupsi Dana BLBI yang melibatkan beberapa anggota DPR. Sejak pertama kali kasus BLBI ini terbongkar, nasibnya tak menentu dan menjadi timbul tenggelam. Pada satu masa, pejabat pemberantas korupsi (seperti KPK) mencetak prestasi dengan menahan oknum-oknum yang terlibat kasus ini, tetapi di suatu masa lain, kasus ini akan surut kembali karena keburu tertutup oleh kasus-kasus hangat lainnya. Sedangkan kasus ini sendiri pun belum sepenuhnya selesai diproses secara hukum.

Dengarlah (penggalan) lirik lagu yang dinyanyikan Slank berjudul “Gosip Jalanan”.

Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini

Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara

Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit

Bahkan dengan mudahnya kita dapat membayangkan seperti apa keadaan dalam gedung di “Senayan” tersebut. Mengada-ada? Tidak. Lirik tersebut dibuat dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Di sinilah peran seniman dan KPK dengan cerdas memadukannya dalam upaya pemberantasan korupsi yang tengah digiatkannya.

Hal yang sangat menarik ialah selang beberapa lama setelah lagu tersebut diputar di masyarakat, Liputan 6 mengadakan polling untuk mengetahui siapakah yang lebih dipercaya apakah DPR atau Slank. Mayoritas masyarakat lebih percaya grup band “Slank” ketimbang DPR.

i. Hasil polling Liputan 6[1]

Siapa yang berani masuk ke dalam ”kerajaan legislatif” itu? Polisi, Jaksa, atau KPK yang dikatakan jagoan mengusut kasus korupsi harus dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka mampu memberantas korupsi dengan baik dan tanpa pandang bulu. Padahal dengan bukti-bukti yang ada sudah cukup alasan untuk meneliti, dan menginvestigasi dugaan kasus korupsi di lembaga perwakilan rakyat itu.

Masih sulit mencari bukti tentang korupsi di DPR? Ada cara lain yang lebih mudah. Coba telusuri, siapa-siapa saja dan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka sebelum menjadi anggota parlemen. Untuk pengusaha besar seperti Aburizal Bakri, Baramuli, atau Arifin Panigoro, kita tidak usah heran kalau mereka memang selama ini sudah tinggal di daerah elit Menteng, Kebayoran Baru atau Pondok Indah.

Bagaimana halnya dengan, maaf, para anggota yang tadinya, untuk mengontrak rumah saja, masih meminjam dari handai tolan ke sana kemari. Apalagi, bagi yang datang dari daerah, ketika datang ke Jakarta pertama kali tak sedikit yang masih mengontrak atau ikut saudara. Tetapi, setelah dalam kurun waktu sekejap, aset dan gaya hidup mereka sudah berubah bagai hidup di dunia mimpi. Coba tengok di kartu nama yang mereka bagi-bagikan, alamat rumahnya tak sedikit yang kini sudah menjadi orang Kebayoran Baru, Kemang, Pondok Indah, atau penghuni apartemen di sekitar kawasan segitiga emas Jalan Sudirman-Kuningan-Thamrin, Jakarta.

Begitu pula halnya dengan kendaraan yang dipakainya. Memakai istilah pengusaha Keturuan Tionghoa di daerah Pecinan Kota, Jakarta, mobil yang dipakainya kebanyakan ”mobil orang selatan,” sekadar menggambarkan pejabat, pegawai negeri yang tinggal di daerah Jakarta Selatan. Ciri-ciri kendaraan yang dipakainya, asal mewah, tetapi tidak memikirkan aspek efisiensi, dan resale value. Pokoknya gaya, biar boros, tidak ada jaminan purna jual, atau nilai jualnya rendah tidak peduli.

Tak percaya, cobalah mampir ke rumah, atau ke parkir mobil khusus untuk anggota dewan di Senayan. Suasananya tak ubah seperti showroom mobil-mobil impor mewah di sekitar Jalan Arteri Pondok Indah, Pecenongan atau Kelapa Gading.[2]

Mengapa perilaku orang "selatan" itu (yang) tidak ekonomis? Jawabnya sederhana, mereka mendapatkan uang sudah pasti tidak perlu dengan kerja keras, tanpa harus sekolah tinggi-tinggi, juga tanpa kucuran keringat. Akan tetapi cukup dengan mengandalkan kekuasan atau wewenang yang dimilikinya.

Tak heran, jika mobil mereka berderet-berderet dan bergonta-ganti. Sebab, cara mendapatkan uangnya tak sesulit pedagang, guru, dosen, nelayan, atau petani yang mesti memeras otak dan kerja keras. Nah, sejak satu dasa warsa lebih reformasi di negeri ini berjalan, deretan mobil mobil-mobil selatan itulah yang memadati lahan perparkiran di gedung DPR.

Dari mana mobil-mobil orang selatan dan rumah-rumah mewah para anggota yang terhormat itu didapat? Silahkan para auditor independen, penyidik polisi, jaksa, dan KPK untuk menyidik dan mengaudit. Yang pasti, hasilnya sangat patut dapat dicurigai dan diduga dari aneka macam suap berkenaan dengan tugas mereka melakukan kontrol, dan pembuat undang-undang. Posisi ini memang ”basah”, terutama di negeri ini yang tingkat korupsinya subur.

Selain kendala yuridis tadi, ada lagi alasan politis. Dalam prosesnya, seorang anggota DPR harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, untuk memajukan diri, seorang calon harus penuh dengan sarat modal. Kedua, seorang calon untuk maju harus memerlukan dukungan dari partai politiknya. Dengan kata lain, untuk maju ia sudah sarat dengan beban kepentingan politik. Dan ketiga, sesuai dengan pengalaman pemilihan umum kita yang terdahulu, banyak calon yang dipenuhi dengan sarat kecurangan.[3]

Dari ketiga hal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertama seseorang itu untuk menjadi calon legislator, ia sudah sepatutnya mempunyai landasan moral dan ideologi yang bersih. Seorang calon harus melihat bahwa ia maju bukan untuk mengejar segala fasilitas yang ada di Senayan tersebut, tetapi harus berlandaskan bahwa ia sebagai pengemban amanah dalam rangka pembangunan bangsanya.

Kedua, bagaimana bila seorang calon tersebut luput dari kepentingan politik jikalau pencalonannya itupun karena partainya, dan apabila terpilih pun, ia pasti harus tidak melupakan jasa-jasa partainya. Nah, bagaimana ia dapat mengedepankan idealismenya apabila terdapat suatu hal bertentangan dengan kepentingan partainya.

Yang terakhir, dapat kita ketahui dari media bahwa pada saat pemilihan umum calon legislatif pada 2004, ternyata diketahui banyak sekali calon yang memalsukan ijasahnya. Adalah Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang mengungkapkan perihal para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bermasalah itu. Menurut Panwaslu, jumlah mereka mencapai 257 orang. Dari jumlah itu 83% terindikasi: (1). Memanipulasi ijazah pendidikan; (2). Masih berstatus pegawai negeri; (3). Berstatus tersangka tindak pidana dan money politics; dan (4). Telah dipecat dari partai.[4]

Lalu dari para perwakilan yang terhormat ini, apa yang dapat kita harapkan? Membuat undang-undang? Bagaimana mereka dapat membuatnya jika yang menjadi sebagian anggotanya adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum. Bahkan mungkin orang-orang tersebut hanyalah tamatan SMA atau mungkin SD. Dari hal itupun, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk memberantas korupsi, kalau mereka sendiripun tidak mengerti tentang korupsi atau mungkin menghalangi pemberantasan korupsi.[5]

Ironis! Lantas apabila dari mereka ada yang korup, mungkinkah kita mematikannya? Wah, kalau dimatikan bisa-bisa satu Senayan mati semua.

ii. Banyaknya koruptor.[6]



[1] Gossip Jalanan, lagu lama Slank di album PLUR yang tahun ini dirilis ulang, dikabarkan sempat membuat DPR berencana menggugat Slank namun akhirnya batal. Berkaitan dengan topik itu, ada polling menarik yang sedang dipasang di situs webnya SCTV saat ini. Materi jajak pendapatnya adalah “Slank menciptakan lagu “Gosip Jalanan” yang menyindir perilaku anggota DPR terkait persoalan korupsi. DPR berang. Siapakah yang lebih Anda percaya: Slank atau DPR?Hasil sementara hingga saat itu, pukul 13.57 WIB, adalah seperti gambar di atas. Sumber <http://mymusicblogging.com/musikindonesia/2008/04/10/percaya-slank-atau-dpr/>, diakses pada 3 Desember 2010.

[2] Pemerintah dalam hal ini seharusnya dapat dengan maksimal menerapkan asas pembuktian terbalik terhadap para oknum yang diduga mendapatkan kekayaan sangat besar secara tidak wajar.

[3] Lihat Laporan Singkat (risalah) Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pengawas Pemilu pada Senin, 10 Mei 2010 dan bandingkan dengan Public Accontability Report – Indonesia Corruption Watch: Korupsi Pemilu Legislatif 2009. Lebih lanjut, Laporan Dana Kampanye Diduga Penuh Manipulasi, <http://antikorupsi.org/indo/content/view/14608/1/>, diakses pada 25 Agustus 2010.

[4] Media Indonesia, 12 Agustus 2004. Baca juga Panwaslu Harapkan KPU Sisir Anggota Legislatif Bermasalah di Daerah, http://www.elshinta.com/v2003a/pemilu.htm?id=10434&i=830&qr=, diakses 11 Desember 2010.

[5] Baca La Ode Sebut Kasus Korupsi Besar di DPR, http://www.antaranews.com/berita/1270741093/la-ode-sebut-kasus-korupsi-besar-di-dpr, diakses 20 Desember 2010.

[6] Kalau memang betul sedemikian banyak jumlah koruptor di negeri ini, dan kalau memang benar ada rencana koruptor diberi seragam khusus. Seberapa banyak pula tukang jahit pakaian yang dibutuhkan di republik ini? <http://kartunpolitik.blogdetik.com/2008/08/30/penjahit-baju-koruptor-berkah-terselubung/>, diakses 3 Desember 2010.

1 comment:

Bokep Indonesia said...

ahh capek mas liatin DPR itu semuanya pada korup.ga ada yg peduli rakyat. biarlah Tuhan yg menghakimi mereka semua. menjadi DPR harusnya mempertanggungjawabkan amanah yg diberi, bukan justru melakukan hal semenamena!